Tak pernah terpikirkan sebelumnya, saat-saat seperti ini
akhirnya datang juga. Ketika diri sendiri merasa terlalu sepi untuk lari dari
sunyi, namun terlalu enggan mencari yang mampu mendampingi. Seakan cinta di dalam
dada terlampau berharga untuk diberikan begitu saja. Seakan kosong di dalam
hati terlalu kecil untuk bisa kututupi sendiri—padahal tidak.
Semua bagai berpura-pura, namun bukan begitu sebenarnya.
Aku hanya takut terluka, sebab segala cinta yang kukenal,
belum ada yang berakhir bahagia.
Semiris itukah cinta yang menghampiri hati?
Atau aku yang telah tak berhati-hati menaruh hati?
Jika mencintai berarti memberi hati seutuhnya, aku tidak
ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan. Karena tidak pernah ada
yang tahu telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu,
mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tak ada luka.
Setelah sembuh, lalu semudah itu seorang baru merobohkan hatiku
hingga lagi-lagi runtuh?
Aku tahu, tak baik terus begini. Bagaimana bahagia bisa
mendatangi, jika membuka hati saja aku tak berani? Dengan alasan apapun, yang
punya awal pasti kelak berakhir.
Meski sudah melangkah paling hati-hati, kuyakin ada saatnya
hati akan sakit kemudian sembuh sendiri.
Namun aku lelah terus menerus terjebak pada repitisi yang
sama. Seseorang datang, mendekat, bersama, sakit, lalu berujung aku, atau dia yang
luka.
Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar
tak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir.
Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati
mempelajari apapun yang semesta beri. Sejuta tempat singgah, berkelana hingga
berdiam di titik lelah, masing-masing dari kita pasti akan
menemukan seseorang yang bisa disebut rumah.
Bukan soal akhir, bukan soal awal, bukan bagaimana
memulainya dan bukan
bagaimana caramu mengakhiri.
Tapi ini tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam
setiap pilihan.
Di dasar hatiku pernah terletak beberapa nama. Di sela-sela
tiap mula ada ketakutan yang sama, tentang hubungan yang berujung tanpa
bersama.
Tapi ini mungkin hanya soal bertoleransi dengan waktu. Jika cinta
sudah mendatangi, sekeras apapun kamu menolak, ia pasti akan menang telak.
Jika ini hanya perihal waktu, aku tahu aku pintar menunggu.
Namun barangkali, ini lebih dari itu. Sebab katanya, Tuhan
hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul siap memilikinya.
Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul siap—mungkin saja aku, mungkin saja
kamu. Meyakini hal-hal semu memang tak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan
diri pada kesedihan yang salah.
Bersabarlah, hati. Yakinilah, di lain hari, kita akan lebih
bahagia daripada ini.