Jumat, 12 September 2014

Bersabarlah Hati


Tak pernah terpikirkan sebelumnya, saat-saat seperti ini akhirnya datang juga. Ketika diri sendiri merasa terlalu sepi untuk lari dari sunyi, namun terlalu enggan mencari yang mampu mendampingi. Seakan cinta di dalam dada terlampau berharga untuk diberikan begitu saja. Seakan kosong di dalam hati terlalu kecil untuk bisa kututupi sendiripadahal tidak.
Semua bagai berpura-pura, namun bukan begitu sebenarnya.
Aku hanya takut terluka, sebab segala cinta yang kukenal, belum ada yang berakhir bahagia.
Semiris itukah cinta yang menghampiri hati?
Atau aku yang telah tak berhati-hati menaruh hati?
Jika mencintai berarti memberi hati seutuhnya, aku tidak ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan. Karena tidak pernah ada yang tahu telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu, mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tak ada luka.

Setelah sembuh, lalu semudah itu seorang baru merobohkan hatiku hingga lagi-lagi runtuh?
Aku tahu, tak baik terus begini. Bagaimana bahagia bisa mendatangi, jika membuka hati saja aku tak berani? Dengan alasan apapun, yang punya awal pasti kelak berakhir.
Meski sudah melangkah paling hati-hati, kuyakin ada saatnya hati akan sakit kemudian sembuh sendiri.
Namun aku lelah terus menerus terjebak pada repitisi yang sama. Seseorang datang, mendekat, bersama, sakit, lalu berujung aku, atau dia yang luka.

Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar tak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir.
Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati mempelajari apapun yang semesta beri. Sejuta tempat singgah, berkelana hingga berdiam di titik lelah, masing-masing dari kita pasti akan
menemukan seseorang yang bisa disebut rumah.

Bukan soal akhir, bukan soal awal, bukan bagaimana memulainya dan bukan
bagaimana caramu mengakhiri.
Tapi ini tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam setiap pilihan.

Di dasar hatiku pernah terletak beberapa nama. Di sela-sela tiap mula ada ketakutan yang sama, tentang hubungan yang berujung tanpa bersama.
Tapi ini mungkin hanya soal bertoleransi dengan waktu. Jika cinta sudah mendatangi, sekeras apapun kamu menolak, ia pasti akan menang telak.

Jika ini hanya perihal waktu, aku tahu aku pintar menunggu.
Namun barangkali, ini lebih dari itu. Sebab katanya, Tuhan hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul siap memilikinya.
Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul siapmungkin saja aku, mungkin saja kamu. Meyakini hal-hal semu memang tak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan diri pada kesedihan yang salah.

Bersabarlah, hati. Yakinilah, di lain hari, kita akan lebih bahagia daripada ini.

Mengapa harus kamu ?

Ada jatuh yang tak pernah kuduga-duga, hingga sebuah tanya muncul dalam benak mengapa kamu? Mengapa harus pada seseorang yang dapat kuketahui dengan pasti, bahwa akhirnya adalah tidak mungkin? Ada rasa yang datang tanpa diundang, hingga tanpa sadar kuletakkan namamu pada urutan paling pertama dalam segala hal. Ada cinta yang sampai kini masih kusangkal. Sebab, memberi hati kepadamu tak pernah sebelumnya terpikirkan. Barangkali, begitulah risiko jatuh cinta. Betapapun sudah berhati-hati, selalu saja ada jalannya jika memang harus terjadi. Sementara hati sebetulnya sudah lelah terjatuh sendirian, tapi Tuhan mendatangkan kamu di hadapanku. Kali ini entah sebagai jawaban, entah sebagai penambah pertanyaan, atau cuma sebagai pembelajaran.
Jadi, mau dibawa ke mana hatiku yang ada dalam genggammu itu? Haruskah aku menujumu, perjuangkan kamu lebih jauh? Atau kembali saja pada titik mula —cukup jadi pendamba? Andai kamu mengerti, ini bukan tanpa alasan. Sementara aku tinggal di antara ribuan pertanyaan tentang mengapa kita kemudian dipertemukan, dan aku berdiam di tengah ratusan perkiraan tentang mengapa kepadamu, jatuhku tampak diizinkan.
Jauh, sebelum cinta tampak nyata, sudah kusadari bahwa semuanya akan berakhir dengan sia-sia. Dalam hujan perasaan yang jarang sekali melegakan, aku tersadar bahwa cinta tak mampu dipaksakan. Percuma aku berusaha dekat dengan yang lainnya, jika hatiku cuma kamu yang punya. Tapi kutahu, cerita ini tak mungkin tertulis begitu, cerita ini menawarkan bahagia yang sama untuk kita semua—tapi sayangnya, bukan dari masing-masing kita.
Kamu seperti ada untuk kucintai saja, tapi bukan untuk kumiliki. Seperti dekat yang tak terjangkau, terasa tapi tak tergenggam, ada tapi seperti tiada.

Kamis, 11 September 2014

Firasat

Sebelum peristiwa manis itu dimulai kira-kira sepekan lalu, aku tahu hari itu akan cepat berlalu, maka aku merekam semuanya dalam ingatan, sebut saja ini firasat, sebelum perpisahan bergerak lebih cepat.
Senyummu itu sumber kekagumanku, ratusan detik aku duduk di sebelahmu dan menikmati hal itu.
Lagi-lagi tanpa kamu tahu, bahumu adalah pelabuhan tempat kepalaku terjatuh tak sengaja, Semesta mengirimkan lagi bahasa-bahasa yang tak kumengerti, seperti kau ingin terculik pergi.
Semula, semua berjalan lebih dari baik-baik saja.
Senyummu dari hati, senyumku lebih gembira lagi, namun bahagia yang berlebihan selalu punya harganya sendiri, barangkali dengan kepergianmu, baru bisa kulunasi.
Kamu dekat tapi terasa lebih jauh dari yang terlihat.
Kamu ada tapi terasa lebih tiada dari kenyataannya.
Ah, bahkan perasaanku saja sudah bisa mengira, bahagia di dekatmu seperti ini bukan untuk selamanya.
Semesta semestinya tahu, menoleh pada yang selain kamu bukan keahlianku.
Semesta sudah pasti tahu, memang langkahku tak seharusnya mengarah padamu.
Aku tak selalu mengerti semesta, dengan segala permainannya, tapi aku lebih tak mengerti kamu, dengan perhatian sementaranya. Hingga akhirnya aku semakin tak mengerti tentang kebersamaan yang belum tergapai, namun sudah harus selesai.
Kamu hadir tiba-tiba, tanpa aba-aba. Kemudian pergi tanpa mengucap apa-apa. Paling tidak, berilah aku pemberitahuan, supaya aku tahu bahwa kita sudah tak lagi miliki harapan.

Hari ini adalah saksi dari ratusan hari perjalanan hati menginginimu jadi penghuni.
Ingin rasanya meleraikan pikirku tentang ketidak mungkinan yang mengada-ada dalam kepala ini. Tapi korneaku bekerja terlalu baik, mataku menangkap segala keindahanmu seolah2 itu nyata.
Aku tidak apa-apa dengan retaknya hati yang terlalu tiba-tiba. Tapi mengapa harus lahir peristiwa sepekan lalu yang begitu manis? Itukah tujuanmu menyakitiku dengan manis?
Ingin rasanya lari sejauh mungkin, menghindar dari pemandangan di depanku, dan terjun dalam lautan airmata.
Apa ini yang seharusnya terjadi padaku? Yang seperti ini ? Mencintai tak tahu bagaimana caranya berhenti, tapi selalu ditinggal ketika rasanya hampir memiliki.
Menjadi yang pintar mengobati pun percuma, jika aku kelak gagal di cintai yang lain lagi. Tapi aku tak mau yang lain, sebab yang lain tentu bukan kamu.
Apa maksud semesta?
Memberikan semacam firasat, supaya aku mampu melepasmu yang bukan lagi untuk sesaat? Apa ini alasan di balik segala kedekatan? Supaya aku menyadari bahwa yang sudah lama akrab, belum tentu bagian dari sebuah jawaban ?
Bahagiakah kamu sekarng ? Iya atau pun tidak, mulailah jalani hari-hari barumu, biar hati kecilmu mulai terbiasa, dan biar tak perlu kucari-cari apa yang telah tiada.